Puisi Pilihan

Dari Lingkungan Hidupnya Anak-anak Belajar…
(Dorothy Law Nolte)

Jika anak dibesarkan dengan celaan
Ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan
Ia belajar menentang
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan
Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi
Ia belajar jadi penyabar
Jika anak dibesarkan dengan dorongan
Ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian
Ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan
Ia akan terbiasa berpendirian




Do’a

.
Ya Allah... Inilah hamba-Mu
yang meratap mengharap percikan cinta-Mu
Engkau tahu
betapa jelaga nista terus memburu
do'a dan dosa dan dosa
melagukan sonata hawa nafsu
kelu lidahku untuk mengaku di hadapan-Mu
malu jiwaku untuk menatap-Mu
.
Ya Allah...
Dalam gundah penuh ragu aku menghampiri-Mu
Menatap diriku sendiri yang selalu berpaling
Sesekali dosa-dosa kusesali
Tetapi berjuta kali kuulangi
Betapa daku harus menghadap-Mu
Sedang seluruh syaraf batinku hanyalah kisah kepalsuan
Sungguh tiada yang mendesakku, kecuali sebuah pengampunan-Mu


Aku Dimakamkan Hari Ini.

Perlahan, tubuhku ditutup tanah,
perlahan, semua pergi meninggalkanku,
masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka
aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
sendiri, menunggu keputusan...

Istri, belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
Anak, yang di tubuhnya darahku mengalir, tak juga tinggal,
Apalah lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat,
rekan bisnis, atau orang-orang lain,
aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.

Istriku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
Anakku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,
Tangan kananku menghibur mereka,
kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
tetapi aku tetap sendiri, disini,
menunggu perhitungan...

Menyesal sudah tak mungkin,
Tobat tak lagi dianggap,
dan ma'af pun tak bakal didengar,
aku benar-benar harus sendiri...

Tuhanku,
(entah dari mana kekuatan itu datang,
setelah sekian lama aku tak lagi dekat dengan-Nya),
jika kau beri aku satu lagi kesempatan,
jika kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu,
beberapa hari saja...

Aku harus berkeliling, memohon ma'af pada mereka,
yang selama ini telah merasakan zalimku,
yang selama ini sengsara karena aku,
yang tertindas dalam kuasaku.
yang selama ini telah aku sakiti hati nya
yang selama ini telah aku bohongi

Aku harus kembalikan, semua harta kotor ini,
yang kukumpulkan dengan wajah gembira,
yang kukuras dari sumber yang tak jelas,
yang kumakan, bahkan yang kutelan.
Aku harus tuntaskan janji janji palsu yg sering ku umbar dulu

Dan Tuhan,
beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta ,
teringat kata kata kasar dan keras yg menyakitkan hati mereka ,
maafkan aku ayah dan ibu ,
mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayang mu
beri juga aku waktu,
untuk berkumpul dengan istri dan anakku,
untuk sungguh sungguh beramal soleh ,
Aku sungguh ingin bersujud dihadap-Mu,
bersama mereka...

Begitu sesal diri ini
karena hari hari telah berlalu tanpa makna
penuh kesia-siaan
kesenangan yg pernah kuraih dulu, tak ada artinya
sama sekali mengapa ku sia sia saja ,
waktu hidup yg hanya sekali itu
andai ku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini,
dan semua menjadi tak terma'afkan,
dan semua menjadi terlambat,
dan aku harus sendiri,
untuk waktu yang tak terbayangkan...


Makna Sebuah Titipan
(WS Rendra)
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa :
sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Allah
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu
diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan
bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti
matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...

"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"